Jiwa-jiwa Tak Terelak






Kebetulan-kebetulan yang terjadi tak tepat waktu, mungkinkah kebetulan-kebetulan yang sudah ditakdirkan?

Atau..

Mungkin saja hanya manusia yang terlalu menggampangkan sesuatu
terlalu percaya diri atas apa yang belum dimiliki.

Bila kebetulan-kebetulan itu adalah garis tangan yang dituliskan tuhan pada skenario di awal permulaan manusia. Haruskah manusia tak benar-benar mengerti ..

Pertemuan dan kehilangan yang (mungkin) tak sengaja hadir dan kejadian-kejadian yang seharusnya tak terjadi, jalur-jalur yang tumpang tindih, sebabkan luka yang kadang membekas dan sukar diobati.

Aku tak sedang membicarakan tentang romansa, hanya sekelumit pemikiran yang dari dulu mengakar tapi tak kunjung tumbuh sempurna. Entahlah, mungkin karena terlalu banyak membaca buku filsafat yang membuatku merasa sangat kerdil di depan semesta. Atau bisa jadi karena kebiasaanku mengamati gerak-gerik manusia yang penuh tipu daya. 

Pada akhirnya memahami semesta beserta isinya, benar-benar menyebalkan.

E N I G M A

Hai, izinkanku mendongeng, tentang seseorang yang begitu ku kasihi setelah Tuhan dan keluarga. Tentangnya sudah pernah kuulas ribuan kali --tentangnya yang kusukai bertahun-tahun lamanya; tentangnya yang bersama dengan perempuan lain; tentangnya yang tak menaruh rasa yang sama; tentangnya yang menaruh jarak; tentang rasaku yang tumbuh anomali; dan banyak lagi menyangkutnya yang sempat kubagi di sini.


Iya, kau mungkin bingung karena tak merasa pernah ku kisahkan tentangnya. Dan memang hampir semua dari seluruh tulisan tentangnya sudah ku kebumikan dengan harapan lupa dan lembar baru yang lebih 'manusiawi', setidaknya itu yang kupikirkan ketika menarik diri dari segala hal tentangnya.

Melupakannya membuatku melakukan berbagai macam cara yang sebenarnya tak begitu kusukai, menerima kehadiran orang lain salah satunya. Aku pernah melakukan trik murahan seperti itu,rasanya benar-benar melelahkan dan memuakkan. Aku berpura-pura dalam kepura-puraan topeng yang berlapis-lapis, mencoba bertahan agar ramuan lupa yang kuteguk sebelumnya bekerja dengan baik. Kemanusiaanku menjadi tumbalnya. Aku menjadi haus akan kasih sayang yang sebenarnya jauh di lubuk hatiku, benar-benar tak aku ingini. Aku bertahan beberapa lama namun tak begitu lama, cukup sebentar untuk memulainya (lagi) dengan sosok lain, terulang hingga aku muak merasa dihianati oleh 'mereka' dan oleh diriku sendiri.

Aku bisa menjalani kisah kasih dengan seseorang tanpa perasaan yang sebenar-benarnya perasaan. Aku bisa namun tak ingin lagi membohongi diri.

Tahun ini, menjadi puncak keresahan yang memuakkan bagiku. Hal-hal yang rancu aku luruskan, segala yang terpendam aku gali dan membiarkannya terlihat, segala yang tertahan aku bebaskan berteriak hingga lega dan tak bersisa. Sejujurnya saat itu aku tak berharap banyak, aku hanya ingin lebih jujur akan perasaan yang lengket tak terkendali itu. Lalu, hal tak terduga terjadi. Tak pernah terbersit bahwa dia memiliki rasa yg sama 'sejak itu'. Bukan burung gagak yang menyerbu melainkan kupu-kupu yang menyanjungku. Tak usah kau tanya sebahagia apa aku kala itu.

Bulan-bulan berlalu dengannya di sisiku. Aku ingin selamanya seperti ini, tanpa salah satu yang menyerah lebih dulu.

Kami, pasangan penuh enigma. Rentetan masalah dan kepribadian yang berbeda tak memungkinkan kami untuk tertawa dan saling memeluk satu sama lain dalam jangka 24/7. Sebenarnya lumrah saja bagi sebuah hubungan untuk berselisih lalu berdamai setelahnya. Terlepas dari itu, apa tak melelahkan?

Hal sepele seringkali memicu perdebatan yang menyesakkan, kedua dari kami kadang lepas kendali, dengan sadar menyakiti satu sama lain. Kami tak dapat mengelak, api sudah terlanjur bergejolak. Beberapa kali ingin menyerah, namun bukankah memang hubungan seperti ini penuh dengan adiksi, dependensi, dan toxic?

Aku harap,dia tak menyerah dan tetap bertahan denganku di sisinya. Meski kadang ku akui, aku seringkali menjadi pemicu amarahnya. Namun,sungguh perasaanku tak sebercanda itu untuk berhenti. Semoga dia juga begitu.

Bulukumba, 30 Desember 2018
-V-

Hai Selasa Senduku

Hai Selasa senduku...
Tahu tidak, belakangan hariku terasa begitu berat.
Pundakku lelah memikul pilunya seorang diri.
Lelahku terpancar dari dalam.
Aku lebur bersama keping asmara yang tak acuh.



Rindu...
Aku merasakannya tiap denting jam menderukan napas.
Setia kuunggahnya bila tersedia kesempatan.
Hadirnya seperti "toxic"; aku teracuni oleh asmara kelabu yang tak jelas arahnya.

Cintaku menempati inang tanpa ketenangan--- grasak-grusuk dikejar ego.
Aku lelah akan nada-nada tinggi pemecah langit biru; ego beserta perasaan tak ingin kalahnya.

Apabila kutemui dia lewat getaran udara, sebab rinduku tak tertahankan.
Aku membutuhkannya untuk menenangkan.
Seperti kemarin Senin, setelah kutahan rindu seharian.
Selalu ingin kutuntaskan secepat yang kubisa; tentu saja kuharap dia pun begitu.
Ingin sekali kubagi kisahku di hari Senin silam.
Tak acuh padaku; aku bertamu diwaktu yang salah.
Bukan salah waktu, tapi aku.

Namun, meski begitu...
Apakah dalam benaknya tak terlintas alasan perihal kabarku seharian itu?
Aku ingat, ketika ku balas pertanyaan basa-basinya tentang "sesuatu" yang sebenarnya tak ingin kubahas hari itu, juga tentang "sesuatu" yang dipamerkannya padaku.
Seketika hatiku 'ciut' kala itu, "ah, seharusnya aku tak boleh seperti ini. Aku tak boleh sampai merusak bahagianya".
Ku abaikan rasa yang menggusarkan dadaku; kusampirkan egoku yang butuh pelarian dan ketenangan saat itu juga.

Ah, usai saja membahas Senin yang sudah berlalu.
Sudahi mengenang perasaan tak karuan beserta air mata yang sempat membanjiri 'kolam renang' di atas bantal.

Selasaku tak kalah kelabu...
Kala menemukan gurat sendu dan air mata di tengah-tengah peliknya petualangan mencari ketenangan dan balasan akan rindu-rindu.
Selasaku tak boleh kelabu, bukankah seharusnya begitu?

Sejujurnya, tak ada sebersit niat menuntutnya selalu ada setiap saat, cukup disaat aku butuhkannya lebih dari apapun.
Lalu, sekarang pun sama; aku berhenti memintanya selalu ada saat aku butuhkannya ibahkan sedikit ketenangan.

Mulai sekarang, aku akan belajar berhenti mendambakannya untuk selalu hadir hiasi hari-hariku.
Sebab, belakangan aku merasa jengah terpancar dari rona suaranya.

Tak akan mudah tentunya..
Mungkin akan sulit melihat lentik bulu matanya.
Mungkin akan sulit memandangi cokelat bola matanya.

Hai, Selasa senduku...
Jika aku lakukan itu, akankah ada aku di benaknya bertandang?
Akankah aku akan dicarinya?
Menurutmu tak mungkin ya?
Kalau begitu, tolong bantu aku do'akan agar aku beserta hatiku kuat menahan bebannya; kuat akan derasnya rindu yang akan menambah lajunya ditiap denting waktu.

"Memangnya kenapa kau seolah ingin menyerah dan pergi menghilang?
Apa kau akan benar-benar hilang? Kalau kau menghilang, aku Selasa sendumu tak akan lagi ada."

                              "Ya, aku tahu. Kau satu satunya saksi bisu atasku dan kenanganku hari ini.
                              Namun, aku sungguh lelah dengan nada-nada tinggi pemecah langitnya itu."

"Bukankah kau berjanji tak akan menyerah?
Kau teramat menyukai suaranya, bukan?"

                              "Ya tentu saja, aku ingat telah berjanji dan tentu saja aku begitu menyukai
                              suara merdunya. Aku akan kembali, bila kehadiranku sungguh-sungguh                                                dibutuhkan olehnya."

............................................
Begitulah Selasa senduku berakhir.
Dari ngengat pengganggu; Si Bising pemecah malammu.

Selasa, 21 November 2018
-V-

Aku Tak Suka 'Jendela di Kamar Itu'

Hasil gambar untuk window



Aku tak pernah menduga bahwa sesuatu bisa seluka ini. Aku tak pernah mengira sesuatu bisa segila ini. Aku tak pernah menerka  bahwa sesuatu bisa sekalut ini. Pun aku tak pernah menahu bahwa aku bisa sehancur ini.

Apakah kau pernah merasakan seperti apa terbang tinggi di Nirwana, lantas makhluk langit menabrakmu jatuh?
Semalam aku merasakannya sendiri. Hancur lebam; memar biru tak beraturan di sana-sini. Serupa bahagiamu di hari itu, hancur dengan sekali hentakan.

"Semoga hanya bunga saat tertidur lelap".

Namun, saat terbangun, aku tersentak mendapati jendela kamar itu terbuka lebar dan menyadarkan akan suatu hal.
"Ah, semua nyata".

Jendela bersama otonominya membawaku menelusuri perasaan-perasaan sesak selepas tidur panjang. Seharusnya, semua sudah selesai dengan berakhirnya dialog dalam mimpi tersebut. Harusnya sudah selesai berikut perasaan-perasaan tentangnya.

Aku hancur lagi; segalanya belum tuntas di dalam sana. perasaan-perasaan yang menyakitkan itu membunuhku dua kali. Aku belum pernah segila ini perihal mempertahankan sesuatu. Aku belum pernah seberjuang ini menperjuangkan sesuatu; meski penolakan ku rasakan berkali-kali.

Hari itu terasa begitu berat dengan rentetan masalah yang menghinggapi. Belum selesai memanen satu, bibit yang satunya entah muncul dari mana, entah bermula dari mana. Aku tak habis pikir, mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan. Padahal jauh sebelum itu, sudah jauh kuredam ego pada penolakan pertama; pada pengabaian yang pertama.

"Apa-apaan aku dengan segala kekurangan yang kumiliki"
"Apa-apaan aku dengan segala perilaku yang kumiliki"

"Kau menyakiti seseorang, tak sadarkah kau?", tanyaku.
"Aku tak pernah melakukannya, aku tak bermaksud melakukan itu", jawabku.
"Kau melakukannya, hanya saja kau tak menyadarinya", jawabku tak mau kalah.
"Aku tak bisa mengakuinya, aku tak melakukannya", kilahku.
"Tapi kau harus. Jika tak ingin kehilangannya, maka akuilah", timpalku.

Perdebatan yang alot antara aku dan diriku. Pikiranku tak mengakui kesalahan, namun egoku ingin menundukkan dirinya. Seketika aku sadar, pihak yang tak ingin kehilanganlah yang harus berjuang lebih keras; entah memang karena memang melakukan kesalahan atau mengakui karena tak ingin kehilangan hal yang berharga.

Maaf menggilaimu seperti ini.
Maaf menyakitimu segila itu.
Maaf aku tak ingin kehilangan, lagi.

Aku tak suka jendela di kamar itu, membawa kembali rasa tak nyaman yang seharusnya sudah menguap bersama embun di atas jemari daun-daun subuh.
Aku tak suka jendela di kamar itu, mengingatkanku akanmu yang mendiamiku sedingin itu.
Aku tak suka jendela di kamar itu, menyadarkanku akan kenyataan yang ku pikir hanyalah mimpi.
Aku benci jendela di kamar itu, yang menganga lebar menghantui lelapku selepas pergumulan panjang.
Aku benci jendela di kamar itu, aku benci diriku yang tak menutupnya rapat-rapat;
Aku benci diriku sendiri.

Gowa, 31 Oktober 2018
-V-

Perihal Kepastian

Perihal kepastian,
tak ada yang tahu pasti makna sejati tentang itu.
Manusia hanyalah manusia bersama ketidakpastiannya, beserta harapan-harapan yang disimpannya dalam hati. 
Hasil gambar untuk harapan dan kepastian
sumber: google
Kadang kupikir,
sebenarnya apa yang diinginkan Engkau Yang Maha Kuasa ciptakan manusia beserta pikirannya. 
Manakala, manusia lupa diri dan asal-usulnya, mereka pun lupa kepada penciptanya. Konon, manusia diturunkan masing-masing mengemban suatu misi. Lantas, misi tentang apa?
Tak ada misi lagi yang teringat ketika ruh dan raga menyatu dengan Bumi.

Manusia, menjadi seenaknya sendiri. Menciptakan misinya sendiri-sendiri, menebarkan harapan-harapan kepada partikel-partikel yang lain di muka Bumi. Kemudian, merusak Bumi itu sendiri; merusak sesamanya; menciptakan sesuatu di luar batasannya; melanggar kodratnya; dan masih banyak lagi di luar yang seharusnya tak dilakukannya.

Jika menilik dari eksitensi manusia beserta kepastian dan ketidakpastiannya, sejujurnya manusia pelakon utama dalam hal itu. Manusia sendiri tak pasti beserta ketidakpastiannya. Lalu, apa sebenarnya kepastian sejati itu? 

Alien, 28 Oktober 2018
-V-