Hai Selasa senduku...
Tahu tidak, belakangan hariku terasa begitu berat.
Pundakku lelah memikul pilunya seorang diri.
Lelahku terpancar dari dalam.
Aku lebur bersama keping asmara yang tak acuh.
Rindu...
Aku merasakannya tiap denting jam menderukan napas.
Setia kuunggahnya bila tersedia kesempatan.
Hadirnya seperti "
toxic"; aku teracuni oleh asmara kelabu yang tak jelas arahnya.
Cintaku menempati inang tanpa ketenangan--- grasak-grusuk dikejar ego.
Aku lelah akan nada-nada tinggi pemecah langit biru; ego beserta perasaan tak ingin kalahnya.
Apabila kutemui dia lewat getaran udara, sebab rinduku tak tertahankan.
Aku membutuhkannya untuk menenangkan.
Seperti kemarin Senin, setelah kutahan rindu seharian.
Selalu ingin kutuntaskan secepat yang kubisa; tentu saja kuharap dia pun begitu.
Ingin sekali kubagi kisahku di hari Senin silam.
Tak acuh padaku; aku bertamu diwaktu yang salah.
Bukan salah waktu, tapi aku.
Namun, meski begitu...
Apakah dalam benaknya tak terlintas alasan perihal kabarku seharian itu?
Aku ingat, ketika ku balas pertanyaan basa-basinya tentang "sesuatu" yang sebenarnya tak ingin kubahas hari itu, juga tentang "sesuatu" yang dipamerkannya padaku.
Seketika hatiku 'ciut' kala itu, "ah, seharusnya aku tak boleh seperti ini. Aku tak boleh sampai merusak bahagianya".
Ku abaikan rasa yang menggusarkan dadaku; kusampirkan egoku yang butuh pelarian dan ketenangan saat itu juga.
Ah, usai saja membahas Senin yang sudah berlalu.
Sudahi mengenang perasaan tak karuan beserta air mata yang sempat membanjiri 'kolam renang' di atas bantal.
Selasaku tak kalah kelabu...
Kala menemukan gurat sendu dan air mata di tengah-tengah peliknya petualangan mencari ketenangan dan balasan akan rindu-rindu.
Selasaku tak boleh kelabu, bukankah seharusnya begitu?
Sejujurnya, tak ada sebersit niat menuntutnya selalu ada setiap saat, cukup disaat aku butuhkannya lebih dari apapun.
Lalu, sekarang pun sama; aku berhenti memintanya selalu ada saat aku butuhkannya ibahkan sedikit ketenangan.
Mulai sekarang, aku akan belajar berhenti mendambakannya untuk selalu hadir hiasi hari-hariku.
Sebab, belakangan aku merasa jengah terpancar dari rona suaranya.
Tak akan mudah tentunya..
Mungkin akan sulit melihat lentik bulu matanya.
Mungkin akan sulit memandangi cokelat bola matanya.
Hai, Selasa senduku...
Jika aku lakukan itu, akankah ada aku di benaknya bertandang?
Akankah aku akan dicarinya?
Menurutmu tak mungkin ya?
Kalau begitu, tolong bantu aku do'akan agar aku beserta hatiku kuat menahan bebannya; kuat akan derasnya rindu yang akan menambah lajunya ditiap denting waktu.
"Memangnya kenapa kau seolah ingin menyerah dan pergi menghilang?
Apa kau akan benar-benar hilang? Kalau kau menghilang, aku Selasa sendumu tak akan lagi ada."
"Ya, aku tahu. Kau satu satunya saksi bisu atasku dan kenanganku hari ini.
Namun, aku sungguh lelah dengan nada-nada tinggi pemecah langitnya itu."
"Bukankah kau berjanji tak akan menyerah?
Kau teramat menyukai suaranya, bukan?"
"Ya tentu saja, aku ingat telah berjanji dan tentu saja aku begitu menyukai
suara merdunya. Aku akan kembali, bila kehadiranku sungguh-sungguh dibutuhkan olehnya."
............................................
Begitulah Selasa senduku berakhir.
Dari ngengat pengganggu; Si Bising pemecah malammu.
Selasa, 21 November 2018
-V-